Tanpa Beer, Mantra Sutardji Masih Memukau
Oleh : Chaidir Anwar Tanjung
Pekanbaru,Meskipun tanpa Beer seperti kebiasaannya, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, tetap tampil prima dalam membacakan sajak meskipun dusianya sudah mencapai 67 tahun.
Dengan gaya yang khas, parau dan bergetar, namun lompatan-lompatan ucapannya tetap bening, memukau ratusan penonton. Kata demi kata yang dibacanya sebanyak 30 judul dalam kumpulan sajak terbarunya “Atau Ngit Cari Agar’’ setelah “O,Amuk, Kapak”, telah menghanyutkan alam fikiran dan ijinasi penonton.
Kata-kata yang sederhana, tiba-biba menjadi sesuatu yang asing. Bunyi yang meloncat-loncat dari mulut Sutardji, tidak hanya sekadar kumpulan huruf dengan beribu beban makna.
‘’Bagaimana pun aku warga negara kata.Tanah airku bahasa.Tetapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara,” kata Sutardji dalam sajak “Taman’’ yang dibacakan pada acara puncak “Bulan Sutardji” yang gelar Dewan Kesenian Riau (DKR), Rabu (24/06/2008) di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru. Pembacaan sajak Sutardji Calzoum Bachri saja berlangsung 1,5 jam lebih.
Di samping itu, panitia juga meluncurkan buku perjalanan kreatifitas Sutardji yang ditulis beberapa tokoh budayawan di Riau seperti Abdul Hadi WM, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Ridak K Liamsi.. Bahkan DKR, juga memberikan saguh hati Rp. 100 juta kepada penyair kelahiran Rengat- Riau, 24 Juni 1941, dan menyerahkan pemenang lomba, baca puisi, cerpen karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Ketua Umum DKR Eddy Akhmad RM mengatakan, hal ini merupakan salah satu cara memberikan penghargaan, kepada sosok Sutardji, sebagai tokoh pembaharuan kesusatraan Indonesia. Ia merupakan satu-satunya orang Riau, bahkan satu-satunya orang Indonesia pasca Chairil Anwar, yang berhasil menyentak kebekuan sastra Indonesia.
“Yang lebih menarik, karya-karya Sutardji, pembaharuan apapun yang dilakukannya, tetap bersandar pada akar kulutrnya yaitu Melayu. Inilah yang membedakannya dengan penyair lain termaksuk Chairil Anwar,’’ tegas Eddy Akhmad RM.
Oleh sebab itu, dirinya tak kurang dengan Dami N Toda, yang mengibaratkan, Chairil Anwar sebagai mata kanan, dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai mata kiri dalam perpuisian Indonesia. Sebab katanya, dilihat dari aspek apapun, karya-karya yang dihasilkan Sutardji, selalu menjadi gairah, semacam passion, tempat semua mata, harapan, hasrat kebesaran. Dirinya menjadi pusat kegamuman, dan selakigus sebuah atmospir yang berhasil menciptakan generasi baru yang penuh semangat.
“Jadi saya sepakat dengan Maman S Mahayana, Sutardji itu jauh lebih besar dari Chairil Anwar. Karena tidak saja mampu melahirkan pengucapan baru dalam setiap karyanya, juga telah menghancurkan pemahaman kita yang salah dalam memendang kebudayaan, yang selama ini diartikan sesuatu yang ontologis, yang guven, turun dari langit dan tak boleh diutak-atik,’’kata Eddy RM.
Namun, Eddy RM membantah hal ini merupakan upaya mengkultuskan Sutardji Calzoum Bachri. Kegiatan ini, diharapkan menjadi spirit bagi orang Riau paling tidak punya rasa kebanggaan terhadap dirinya sendiri, dengan melahirkan karya-karya baru dan bermutu, dengan tetap bersandar dirahim ibu kebudayaanya yang bernama Melayu. “Walau penyair besar, takkan sampai sebatas Allah,’’ tutup Sutardji.
Oleh : Chaidir Anwar Tanjung
Pekanbaru,Meskipun tanpa Beer seperti kebiasaannya, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, tetap tampil prima dalam membacakan sajak meskipun dusianya sudah mencapai 67 tahun.
Dengan gaya yang khas, parau dan bergetar, namun lompatan-lompatan ucapannya tetap bening, memukau ratusan penonton. Kata demi kata yang dibacanya sebanyak 30 judul dalam kumpulan sajak terbarunya “Atau Ngit Cari Agar’’ setelah “O,Amuk, Kapak”, telah menghanyutkan alam fikiran dan ijinasi penonton.
Kata-kata yang sederhana, tiba-biba menjadi sesuatu yang asing. Bunyi yang meloncat-loncat dari mulut Sutardji, tidak hanya sekadar kumpulan huruf dengan beribu beban makna.
‘’Bagaimana pun aku warga negara kata.Tanah airku bahasa.Tetapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara,” kata Sutardji dalam sajak “Taman’’ yang dibacakan pada acara puncak “Bulan Sutardji” yang gelar Dewan Kesenian Riau (DKR), Rabu (24/06/2008) di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru. Pembacaan sajak Sutardji Calzoum Bachri saja berlangsung 1,5 jam lebih.
Di samping itu, panitia juga meluncurkan buku perjalanan kreatifitas Sutardji yang ditulis beberapa tokoh budayawan di Riau seperti Abdul Hadi WM, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Ridak K Liamsi.. Bahkan DKR, juga memberikan saguh hati Rp. 100 juta kepada penyair kelahiran Rengat- Riau, 24 Juni 1941, dan menyerahkan pemenang lomba, baca puisi, cerpen karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Ketua Umum DKR Eddy Akhmad RM mengatakan, hal ini merupakan salah satu cara memberikan penghargaan, kepada sosok Sutardji, sebagai tokoh pembaharuan kesusatraan Indonesia. Ia merupakan satu-satunya orang Riau, bahkan satu-satunya orang Indonesia pasca Chairil Anwar, yang berhasil menyentak kebekuan sastra Indonesia.
“Yang lebih menarik, karya-karya Sutardji, pembaharuan apapun yang dilakukannya, tetap bersandar pada akar kulutrnya yaitu Melayu. Inilah yang membedakannya dengan penyair lain termaksuk Chairil Anwar,’’ tegas Eddy Akhmad RM.
Oleh sebab itu, dirinya tak kurang dengan Dami N Toda, yang mengibaratkan, Chairil Anwar sebagai mata kanan, dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai mata kiri dalam perpuisian Indonesia. Sebab katanya, dilihat dari aspek apapun, karya-karya yang dihasilkan Sutardji, selalu menjadi gairah, semacam passion, tempat semua mata, harapan, hasrat kebesaran. Dirinya menjadi pusat kegamuman, dan selakigus sebuah atmospir yang berhasil menciptakan generasi baru yang penuh semangat.
“Jadi saya sepakat dengan Maman S Mahayana, Sutardji itu jauh lebih besar dari Chairil Anwar. Karena tidak saja mampu melahirkan pengucapan baru dalam setiap karyanya, juga telah menghancurkan pemahaman kita yang salah dalam memendang kebudayaan, yang selama ini diartikan sesuatu yang ontologis, yang guven, turun dari langit dan tak boleh diutak-atik,’’kata Eddy RM.
Namun, Eddy RM membantah hal ini merupakan upaya mengkultuskan Sutardji Calzoum Bachri. Kegiatan ini, diharapkan menjadi spirit bagi orang Riau paling tidak punya rasa kebanggaan terhadap dirinya sendiri, dengan melahirkan karya-karya baru dan bermutu, dengan tetap bersandar dirahim ibu kebudayaanya yang bernama Melayu. “Walau penyair besar, takkan sampai sebatas Allah,’’ tutup Sutardji.
1 komentar:
Salut baca berita bang haidir kalau boleh tau bang gimana caranya mengambil photo harimau
Posting Komentar