Rabu, 25 Juni 2008
Nasib Macanku yang Malang ........
TANPA BEER, MANTRA SUTARDJI MASIH MEMUKAU
Tanpa Beer, Mantra Sutardji Masih Memukau
Oleh : Chaidir Anwar Tanjung
Pekanbaru,Meskipun tanpa Beer seperti kebiasaannya, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, tetap tampil prima dalam membacakan sajak meskipun dusianya sudah mencapai 67 tahun.
Dengan gaya yang khas, parau dan bergetar, namun lompatan-lompatan ucapannya tetap bening, memukau ratusan penonton. Kata demi kata yang dibacanya sebanyak 30 judul dalam kumpulan sajak terbarunya “Atau Ngit Cari Agar’’ setelah “O,Amuk, Kapak”, telah menghanyutkan alam fikiran dan ijinasi penonton.
Kata-kata yang sederhana, tiba-biba menjadi sesuatu yang asing. Bunyi yang meloncat-loncat dari mulut Sutardji, tidak hanya sekadar kumpulan huruf dengan beribu beban makna.
‘’Bagaimana pun aku warga negara kata.Tanah airku bahasa.Tetapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara,” kata Sutardji dalam sajak “Taman’’ yang dibacakan pada acara puncak “Bulan Sutardji” yang gelar Dewan Kesenian Riau (DKR), Rabu (24/06/2008) di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru. Pembacaan sajak Sutardji Calzoum Bachri saja berlangsung 1,5 jam lebih.
Di samping itu, panitia juga meluncurkan buku perjalanan kreatifitas Sutardji yang ditulis beberapa tokoh budayawan di Riau seperti Abdul Hadi WM, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Ridak K Liamsi.. Bahkan DKR, juga memberikan saguh hati Rp. 100 juta kepada penyair kelahiran Rengat- Riau, 24 Juni 1941, dan menyerahkan pemenang lomba, baca puisi, cerpen karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Ketua Umum DKR Eddy Akhmad RM mengatakan, hal ini merupakan salah satu cara memberikan penghargaan, kepada sosok Sutardji, sebagai tokoh pembaharuan kesusatraan Indonesia. Ia merupakan satu-satunya orang Riau, bahkan satu-satunya orang Indonesia pasca Chairil Anwar, yang berhasil menyentak kebekuan sastra Indonesia.
“Yang lebih menarik, karya-karya Sutardji, pembaharuan apapun yang dilakukannya, tetap bersandar pada akar kulutrnya yaitu Melayu. Inilah yang membedakannya dengan penyair lain termaksuk Chairil Anwar,’’ tegas Eddy Akhmad RM.
Oleh sebab itu, dirinya tak kurang dengan Dami N Toda, yang mengibaratkan, Chairil Anwar sebagai mata kanan, dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai mata kiri dalam perpuisian Indonesia. Sebab katanya, dilihat dari aspek apapun, karya-karya yang dihasilkan Sutardji, selalu menjadi gairah, semacam passion, tempat semua mata, harapan, hasrat kebesaran. Dirinya menjadi pusat kegamuman, dan selakigus sebuah atmospir yang berhasil menciptakan generasi baru yang penuh semangat.
“Jadi saya sepakat dengan Maman S Mahayana, Sutardji itu jauh lebih besar dari Chairil Anwar. Karena tidak saja mampu melahirkan pengucapan baru dalam setiap karyanya, juga telah menghancurkan pemahaman kita yang salah dalam memendang kebudayaan, yang selama ini diartikan sesuatu yang ontologis, yang guven, turun dari langit dan tak boleh diutak-atik,’’kata Eddy RM.
Namun, Eddy RM membantah hal ini merupakan upaya mengkultuskan Sutardji Calzoum Bachri. Kegiatan ini, diharapkan menjadi spirit bagi orang Riau paling tidak punya rasa kebanggaan terhadap dirinya sendiri, dengan melahirkan karya-karya baru dan bermutu, dengan tetap bersandar dirahim ibu kebudayaanya yang bernama Melayu. “Walau penyair besar, takkan sampai sebatas Allah,’’ tutup Sutardji.
Oleh : Chaidir Anwar Tanjung
Pekanbaru,Meskipun tanpa Beer seperti kebiasaannya, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, tetap tampil prima dalam membacakan sajak meskipun dusianya sudah mencapai 67 tahun.
Dengan gaya yang khas, parau dan bergetar, namun lompatan-lompatan ucapannya tetap bening, memukau ratusan penonton. Kata demi kata yang dibacanya sebanyak 30 judul dalam kumpulan sajak terbarunya “Atau Ngit Cari Agar’’ setelah “O,Amuk, Kapak”, telah menghanyutkan alam fikiran dan ijinasi penonton.
Kata-kata yang sederhana, tiba-biba menjadi sesuatu yang asing. Bunyi yang meloncat-loncat dari mulut Sutardji, tidak hanya sekadar kumpulan huruf dengan beribu beban makna.
‘’Bagaimana pun aku warga negara kata.Tanah airku bahasa.Tetapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara,” kata Sutardji dalam sajak “Taman’’ yang dibacakan pada acara puncak “Bulan Sutardji” yang gelar Dewan Kesenian Riau (DKR), Rabu (24/06/2008) di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru. Pembacaan sajak Sutardji Calzoum Bachri saja berlangsung 1,5 jam lebih.
Di samping itu, panitia juga meluncurkan buku perjalanan kreatifitas Sutardji yang ditulis beberapa tokoh budayawan di Riau seperti Abdul Hadi WM, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Ridak K Liamsi.. Bahkan DKR, juga memberikan saguh hati Rp. 100 juta kepada penyair kelahiran Rengat- Riau, 24 Juni 1941, dan menyerahkan pemenang lomba, baca puisi, cerpen karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Ketua Umum DKR Eddy Akhmad RM mengatakan, hal ini merupakan salah satu cara memberikan penghargaan, kepada sosok Sutardji, sebagai tokoh pembaharuan kesusatraan Indonesia. Ia merupakan satu-satunya orang Riau, bahkan satu-satunya orang Indonesia pasca Chairil Anwar, yang berhasil menyentak kebekuan sastra Indonesia.
“Yang lebih menarik, karya-karya Sutardji, pembaharuan apapun yang dilakukannya, tetap bersandar pada akar kulutrnya yaitu Melayu. Inilah yang membedakannya dengan penyair lain termaksuk Chairil Anwar,’’ tegas Eddy Akhmad RM.
Oleh sebab itu, dirinya tak kurang dengan Dami N Toda, yang mengibaratkan, Chairil Anwar sebagai mata kanan, dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai mata kiri dalam perpuisian Indonesia. Sebab katanya, dilihat dari aspek apapun, karya-karya yang dihasilkan Sutardji, selalu menjadi gairah, semacam passion, tempat semua mata, harapan, hasrat kebesaran. Dirinya menjadi pusat kegamuman, dan selakigus sebuah atmospir yang berhasil menciptakan generasi baru yang penuh semangat.
“Jadi saya sepakat dengan Maman S Mahayana, Sutardji itu jauh lebih besar dari Chairil Anwar. Karena tidak saja mampu melahirkan pengucapan baru dalam setiap karyanya, juga telah menghancurkan pemahaman kita yang salah dalam memendang kebudayaan, yang selama ini diartikan sesuatu yang ontologis, yang guven, turun dari langit dan tak boleh diutak-atik,’’kata Eddy RM.
Namun, Eddy RM membantah hal ini merupakan upaya mengkultuskan Sutardji Calzoum Bachri. Kegiatan ini, diharapkan menjadi spirit bagi orang Riau paling tidak punya rasa kebanggaan terhadap dirinya sendiri, dengan melahirkan karya-karya baru dan bermutu, dengan tetap bersandar dirahim ibu kebudayaanya yang bernama Melayu. “Walau penyair besar, takkan sampai sebatas Allah,’’ tutup Sutardji.
Selasa, 24 Juni 2008
Orang Rimba Susah Mencari Babi
Maaf ......Ini Bukan Pornografi
Kenangan Bersama Wartawan KOMPAS
Foto wartawan detikcom dan wartawan kompas ini lagi istirahat dalam perjalanan pulang dari Dusun Datai Tuo yang ditempuh dengan kapal motor.
Liputan ke Hutan TNBT
Ini foto lagi liputan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Riau. Uuh.... liputan ini melelahkan, karena harus ditempuh dengan sepeda motor menyusuri TNBT plus berjalan kaki. Waktu sampai di tengah hutan, ketemu dengan Orang Rimba yang masih primitive.
Bertemunya dengan Orang Rimba ini, menghapus semua kelelehan yang dirasakan. Jarang-jarang bisa ketemu mereka, makanya disempatkan foto bareng bersama teman-teman pendamping wartawan yakni LSM WARSI yang berpusat di Jambi.
Senin, 23 Juni 2008
Sudah Miskin Bodoh Pula
Masyarakat tradisional Talang Mamak di Riau, hingga kini pola hidupnya masih primitive. Mereka menyebar di hamparan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di wilayah Riau dan Jambi. Hidup dihutan belantara, tanpa ada akses jalan, tanpa pendidikan juga tidak tersedia faslitas kesehatan.
Namun demikian, mereka juga sadar, bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat jauh tertinggal di wilayah Indonesia ini. Mereka sebenarnya juga ingin layak hidup sebagaimana masyarakat lainnya. Mereka tidak ingin dibelenggu kebodohan. Tapi memang, sebuah UU lingkungan di negara ini memang ‘mengharamkan’ berdirinya fasilitas pendidikan formal di dalam kawasan taman nasional.
Harapan satu-satunya adalah, adanya sebuah kebijakan pemerintah menempatkan pendidikan non formal yang semestinya dijembatani para NGO. Kondisi itulah yang membuat hati Sidam Katak (70) ketua kelompok Talang Mamak di Dusun Datai Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, gelisah.
Dia tak ingin, anak dan cucu-cucunya buta huruf dan angka seperti yang mereka alami sekarang ini. Pak Katak ini, sadar dengan kebodohan yang terus memilit masyarakatnya, akan berdampak dengan kemiskinan.
"Tolonglah pak, sampaikan pada pemerintah, kami ini butuh pendidikan untuk masa depan generasi kami. Jangan biarkan kami ini terus terbelenggu dengan kebodohan dan kemiskinan," kata Katak kakek berkulit hitam berambut keriting itu.
Maaf..Kami Tidak Kenal Presiden SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mungkin dianggap tenar karena sering nampil di sejumlah televisi. Tapi siapa bilang, kalau semua rakyat di negari ini mengenal sosok orang nomor satu itu. Lah buktinya, anak-anak suku pedalaman Talang Mamak di Kabupaten Ingradiri Hulu (Inhu) Riau, tidak mengenal SBY.
Walaupun foto SBY mengenakan jas hitam terpampang di gubuk reot sekolah non formal di pedalaman Dusun Datai Tuo Kabupaten Inhu. Dalam foto itu SBY tersenyum. Tapi sayang, murid-murid di sekolah itu tidak mengenal sosok foto yang tergantung di dinding sekolah mereka.
Sitor (12) adalah salah satu murid yang ada di sekolah Datai yang kini sekolah itu juga sudah tidak berfungsi, karena gurunya tidak mau mengajar lagi. Cerita Sitor bersama teman-temannya, guru mereka tak sanggub hilir mudik ke dusun mereka yang jauh dari akses jalan.
Sebab, dari akses jalan kecamatan menuju dusun Datai harus ditempuh dengan berjalan kaki minimal 7 jam. Walau demikian sang guru mereka sempat menggantungkan foto SBY. Ketika Sitor cs ditanya soal foto itu, mereka geleng-geleng kepala. “Kami ndak tau itu gambar siapo,”ujar Sitor cs dengan polos.
Diberitahu bahwa itu adalah foto Presiden, bocah yang lugu itu malah balik bertanya. “Presiden itu apo?”. Diberikan lagi penjelasan bahwa Presiden itu adalah pemimpin Republik Indonesia, Sitor cs tetap nggak mudeng. “Kami ndak tau do. Ngapo gambarnyo ada di sekolah kami pak,” lagi-lagi Sitor balik bertanya.
Pun ketika dijelaskan, bahwa nama Presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Sitor menunduk lesu sembari tatapan matanya yang kosong melihat lantai tanah sekolahnya yang sudah dikerumini rumput hijau. “Siapa SBY itu ”. Dijelaskan sekali lagi bahwa Presiden Indonesia SBY, bocah itu tambah tak ngerti . “Presiden itu apo, SBY itu siapo lagi?”
Kalau sudah begini siapa menyalahkan siapa?
Sabtu, 21 Juni 2008
BOLA PANAS DI HUTAN RIAU
Bola panas itu bernama Hutan Riau. Kini Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jafar sebagai terdakwa dalam kasus illegal logging di pengadilan Tipokor. Bola panas itu pun kian liar seperti liarnya bola di piala Euro 2008, nabrak sana nabrak sini. Hasilnya, tiga mantan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Riau terseret menjadi tersangka.
Tersangkutnya mantan Kadishut ini, tentunya karena KPK membidik urusan rekomendasi izin pelapasan kawasan hutan di Kabupaten Pelalawan. Akibat izin serampangan itu, tak tanggung-tanggung negara dirugikan lebih dari Rp 1 triliun rupiah. Itu baru satu kabupaten saja, belum kabupaten lainnya yang ada di Bumi Lancang Kuning itu.
Aktivis lingkungan pun mendesak, agar KPK tidak hanya menjebloskan Bupati Pelalawan ke dalam penjara. Para Kadis Kehutanan juga harus segara ditangkap. Kalau para mantan Kadis sudah ditangkap, maka selanjutnya pimpinan mereka juga harus menyusul. Sebab, para mantan Kadishut Riau tidak akan berani memberikan areal konsesi kawasan hutan kalau tidak disetujui Gubernur Riau, Rusli Zainal.
Dari sana terkait lagi. Bahwa izin juga ditentukan Menteri Kehutanan MS Kaban. Bola panas pun semakin liar. Kedua pejabat pemerintah itu didesak untuk segara diseret dalam kasus illegal logging di Riau.. Aktivis lingkungan berharap KPK dapat mensejajarkan status Gubernur Riau dan Menhut itu seperti Tengku Azmun Jafar.
Sekarang kita tunggu saja keberanian KPK untuk menuntaskan kasus ini. Kalau KPK tidak menyerat para pelaku illegal logging dari yang paling dasar sampai yang paling tertinggi, berarti benar keraguan rakyat selama ini, bahwa KPK tebang pilih dalam penanganan korupsi di republik Indonesia Raya ini.
Jumat, 20 Juni 2008
Pembantai Gajah Sumetara di Riau
Pembantaian Gajah Sumetera di Riau
Pembantain gajah sumetara terus saja terjadi. Dalil membunuhnya pun beraneka ragam. Mulai diburu karena gadingnya punya nilai jual, sampai sang gajah dianggap hama bagi warga. Gajah selalu dipersalahkan, karena merusak perladangan serta menyerang warga. Padahal, kalau mau jujur, gajah itu tidak pernah merusak perladangan warga. Sebab, perladangan yang dibuka warga merupakan habitat gajah. Andai saja gajah dapat berbahasa manusia, mungkin dia akan balik bertanya, “Emang siapa duluan yang tinggal di hutan ini,”.
Pembantain gajah sumetara terus saja terjadi. Dalil membunuhnya pun beraneka ragam. Mulai diburu karena gadingnya punya nilai jual, sampai sang gajah dianggap hama bagi warga. Gajah selalu dipersalahkan, karena merusak perladangan serta menyerang warga. Padahal, kalau mau jujur, gajah itu tidak pernah merusak perladangan warga. Sebab, perladangan yang dibuka warga merupakan habitat gajah. Andai saja gajah dapat berbahasa manusia, mungkin dia akan balik bertanya, “Emang siapa duluan yang tinggal di hutan ini,”.
Langganan:
Postingan (Atom)