Sejak kasus Antasari Azhar mencuat ke permukaaan soal duguaan ‘jatuh ke selangkangan wanita’, akupun teringat nostalgia saat melakukan wawancara kepadanya. Aku lupa kapan wawancara itu dilakukan, yang jelas hasil wawancara aku di muat di majalah TRUST, ya mungkin era tahun 2004 silam. Yang jelas, saat itu Antasari menjabat Wakil Kejati Riau. Berikut laporannya.
Juru Bicara Korps Baju Cokelat
Mencuat setelah menangani kasus Tommy Soeharto, kini Antasari Azhar ditunjuk menjadi Kapuspenkum Kejaksaan Agung.
Penulis : Yus Ariyanto dan Chaidir Anwar (Riau)
PRIA jangkung ini tak perlu berlama-lama di Riau. Pada 30 April lalu, ia dilantik menjadi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Riau. Eh, dua pekan silam, ia mesti balik ke “markas besar” lagi, menggantikan Barman Zahir sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung. Ia adalah Antasari Azhar.
Meski singkat, Antasari meninggalkan Riau dengan “kenangan publik’ pada berlarut-larutnya upaya pemeriksaan Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood, tersangka kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kepulauan Riau senilai Rp 87,2 miliar. Kita tahu, Huzrin sempat menampik tiga kali panggilan Kajati Riau. Ia mangkir dengan aneka dalih. Misalnya, pada panggilan kedua pada 22 Oktober 2002, ia mengaku harus mengikuti Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional di Jakarta. Pada 17 Desember lalu, Huzin akhirnya memenuhi panggilan Kajati Riau.
Memang, kelambanan penanganan kasus itu tak bisa sepenuhnya dibebankan di bahu Antasari. Tapi, sebagai orang nomor dua di Kajati Riau, lelaki yang gemar boling ini tentu tak bisa mengelak juga dari tanggung jawab. Menanggapi hal ini, Antasari berkata, “Buktinya Huzrin berhasil kita periksa. Kok dibilang gagal,”
Lebih jauh, Antasari melihat, selama ini apa pun yang dikerjakan kejaksaan selalu mencuatkan opini negatif. Melihat gejala ini, ia mengaku bingung juga. Padahal, menurut dia, kejaksaan selalu berbenah dan melakukan introspeksi diri. “Ya, mungkin hal itu terjadi karena di era reformasi, semua berhak mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini, kita mulai melakukan pendewasaan demokrasi. Jadi, saya nilai, wajar saja kalau ada pendapat demikian. Yang penting, kami tetap pada komitmen menjalankan tugas,” katanya.
Sebelum kasus Huzrin Hood, sosok Antasari juga ramai dipergunjingkan ketika Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto buron. Sialnya, ia disebut-sebut dengan nada miring. Saat itu, lelaki kelahiran Pangkal Pinang tersebut menjabat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan yang bertanggung jawab atas eksekusi Tommy.
Persisnya, Antasari dianggap lamban dalam menindaklanjuti penolakan Presiden Abdurrahman Wahid atas permohonan grasi yang diajukan Tommy. Berdasarkan penolakan itu, pihak kejaksaan mesti mengeksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung yang mengganjar 18 bulan penjara buat Tommy dalam kasus tukar guling tanah Bulog dan PT Goro Batara Sakti.
Begitulah. Sejak 4 November 2000, Tommy dinyatakan buron. Antasari kontan menuai kecaman. Tak kurang, Jaksa Agung saat itu Marzuki Darusman menyatakan, kinerja Antasari mengecewakan. Menurut Marzuki, “Tentunya ada masalah-masalah yang terjadi pada diri Antasari dengan kemungkinan faktor-faktor rintangan. Apakah benar-benar karena kesulitan atau dibuat-buat,”
Ketika TRUST mengungkit ingatan pada kasus Tommy, Antasari mengatakan, hal itu tak bisa dilepaskan dengan sejumlah faktor lain. Misalnya, ketika mengolah perkara Tommy di tingkat kasasi, Mahkamah Agung tak melakukan upaya penahanan. Karena itu, ketika kejaksaan hendak mengeksekusi, putra bungsu Soeharto itu punya peluang untuk menghindari hukuman.
Antasari mengaku telah melakukan upaya antisipasi, yaitu dengan meminta pencekalan Tommy ke pihak imigrasi. Itu yang menyebabkan Antasari berkeyakinan, Tommy masih berada di Indonesia saat buron. Namun, memang dibutuhkan waktu cukup panjang untuk mencokoknya. Sebab, “Kita mencarinya di antara 200 juta rakyat Indonesia,” ujar pria yang pernah menjadi demonstran saat kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang itu.
Kelelahan dan diteror
Tentu, kasus Tommy tersebut demikian melelahkan Antasari. Yang pasti, ia tak leluasa berkumpul bersama keluarga. Saat itu, ia jarang pulang ke rumah. Tapi, “Saya memberikan pengertian kepada mereka, bahwa inilah tugas. Alhamdulillah, mereka sangat memahami,” kata ayah dua putri ini.
Sejatinya, bukan cuma kelelahan. Teror pun sempat mampir sebagai buntut kasus Tommy Soeharto. Pada 21 Juli 2001, Hakim Agung dan Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Hukum Pidana Umum, M. Syafiuddin Kartasasmita, dibunuh. Semasa hidupnya, Syafiuddin banyak menangani kasus penting. Salah satunya adalah kasasi Tommy Soeharto. Beberapa hari kemudian, sebuah telepon gelap masuk ke rumah Antasari. Saat itu yang menerima adalah salah seorang putrinya. Si penelepon menyatakan, “Ini hakimnya sudah mati, tinggal jaksa dan kajari,”.
Telepon teror dilancarkan pula ke kantor Antasari. Si penelepon berujar, “Saya tahu kajari memakai Kijang, sekarang ada di (Hotel) Century. Siapkan bendera kuning karena korban sebentar lagi dijemput di Century.” Selain via telepon, teror juga berlangsung dengan dikuntitnya mobil Antasari oleh mobil Toyota Hardtop.
Pada 7 Agustus 2001, polisi menangkap dua tersangka utama pembunuh Syafiuddin, Noval dan Mulawarman. Tersingkaplah kemudian bahwa memang Tommy yang berada di balik pembunuhan keji tersebut. Dan, pada 28 November 2001, giliran Tommy tertangkap. Gertakan bahwa jaksa dan kajari tinggal menunggu giliran pun tak terlaksana.
Kelak, sebagai Kapuspenkum, Antasari mungkin bisa lepas dari ancaman-ancaman seperti itu. Di posisinya itu, ia bakal amat kerap berhubungan dengan para “kuli disket,” dan tak menangani perkara. Melihat jejak kariernya, ini bukan pengalaman pertama. Toh, ia pernah menjadi Kepala Bidang Hubungan Media Massa Kejaksaan Agung.
Sebagai Kapuspenkum, Antasari mengatakan, ingin terus membina proses kemitraan kejaksaan dengan para wartawan. Ia menghendaki, wartawan bisa seperti seorang jaksa. Artinya, si wartawan bisa mencermati sebuah kasus mulai dari proses penyidikan sampai tuntutan. Ini semata-mata demi memudahkan pembaca dalam memahami kasus yang diberitakan. Sebaliknya, “Saya juga ingin seorang jaksa seperti wartawan yang haus informasi,” kata Antasari.
Sebagai pribadi, Antasari mengaku memulai hari-harinya dengan menyerap informasi yang disajikan surat kabar.”Membaca surat kabar adalah sarapan pertama saya. Setelah itu, baru saya sarapan beneran... ha-ha-ha,” ujar suami Ida Laksmi Wati itu.
Senin, 04 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar